Categories
Micro Story

Harus pulang kemana?

Sore itu, ketika matahari berada di sepertiga langit, aku tiba di suatu tempat, tempat yang sebelumnya sudah kusematkan pada aplikasi penunjuk arah pada gawai ku. Ya, tempat itu kusematkan karena aku belum hafal betul arah untuk ke sana. Namun, seiring berjalannya waktu aku pun tebiasa dan jadi paham betul rutenya. Aku jadi hafal bukan karena terbiasa dan sering mengunjungi tempat itu, tetapi dikarenakan alasan tujuanku kesana.

Aku di sana hanya bersambang, sebab tujuanku ke sana bukan mengunjungi tempatnya, melainkan untuk siapa. Ya, kamu, kamu yang selalu menugguku, kamu, kamu yang ada di sini, di dalamku. Sulit untuk menjelaskannya memang. Pada intinya itu kamu, dan aku tahu kamu pasti mengerti.

Sulit bagiku untuk mendeskripsikan perasaan yang kurasakan ketika bertemu denganmu. Mungkin tak akan cukup rubrik ini untuk menjelaskannya. Namun jika memang kamu ingin mengetahui apa yang aku rasakan, aku hanya bisa mengatakan bahwa pada intinya aku tidak tahu ini apa. Ada rasa manis, senang, dan sayangnya tetapi juga terkadang ada rasa pahit, kesal, dan bencinya, walaupun memang kadarnya seimbang, itu yang membuatku sulit menjelaskan ini apa.

Menemukanmu adalah hal yang kusangka indah, tetapi seiring waktu berjalan perlahan-lahan logika mulai menguasai diri ini kembali. Memang betul, aku senang bisa mengenalmu, tapi dengan arti senang yang bukan berakhir senyuman ataupun tawa, tetapi lebih ke arti senang yang untuk disyukuri. Aku bersyukur telah memahami semuanya. Aku yakin itu bukanlah sebuah kebetulan. Karena aku tidak percaya kebetulan, sebab aku yakin semua yang terjadi sudah dituliskan oleh Tuhan pada buku takdir.

Seketika waktu terasa sangat singkat dan malam mulai menjemput. Pada setiap itulah seketika ada yang mengganjal di hati dan ada yang terasa menjadi berat. Tidak, jangan salah paham, bukan berarti aku tak ingin bersamamu, bukan seperti itu maksudku. Yang aku maksud adalah bahwa di hati ini terasa ada yang mengganjal, tidak tahu apa itu, mungkin sama seperti di paragraf kedua sebelum ini.

Namun apalah lagi yang hendak kuperbuat. Aku harus kembali, begitu juga denganmu. Tapi aku amat sangat yakin akan tiba saatnya waktu itu datang, waktu saat aku kembali ke suatu tempat di mana kamu juga menuju ke suatu tempat. Apakah itu tempat yang sama? waktu pun tak tahu jawabannya, hanya Tuhan yang tahu itu.

Dan pada intinya yang aku tahu hanya kamu harus cepat-cepat pulang.

Sekian

(fiksi)

Categories
Micro Story

Thank God It’s Friday

Aku memasuki ruang kerja yang berada di seberang lift itu, lalu aku duduk di sudut agak jauh dengan jendela kaca, tetapi darinya masih dapat kulihat luas hiruk-pikuk kota. Ya, sehari-hari aku menghabiskan waktu di lantai 25. Di sebuah gedung di tengah Ibu Kota, tempatku bekerja.

Hari ini hari jum’at, jadwalku tidak terlalu padat. Hanya beberapa to do list rutin yang harus dituntaskan. Mungkin dari situasi seperti inilah bagaimana istilah ‘TGIF’ –Thank God It’s Friday– mulai ramai digunakan.

Ya, situasi dimana rayuan akhir pekan bagaikan lambaian selendang bidadari. Wanginya sudah tercium bahkan sebelum ia tiba sekalipun. Entah semua menciumnya atau tidak, tapi begitulah imajinasiku menggambarkan aroma dari hari jumat.

Pukul 10 pagi aku mulai senggang, kuputuskan untuk membuat secangkir amerikano. Itu salah satu jenis penyajian kopi yang proses pembuatannya dengan mencampurkan satu atau dua seloki espreso dengan air panas.

Aku menuju meja ‘coffee spot‘ tepat diseberang meja yang aku duduki saat ini. Di meja itu sudah dilengkapi dengan berbagai macam perlengkapan untuk membuat kopi. Mulai dari biji kopi yang beragam sampai dengan mesin kopinya, semua tersedia. Sudah seperti meja kerja seorang barista.

Tanpa pikir panjang, kuambil toples biji kopi arabika. Konon katanya, untuk espreso jenis biji kopi ini memiliki karakter yang kuat dengan rasa yang kaya. Kubuka tutup toples itu dan menyerok isinya, lalu perlahan aku takar dan menaruhnya pada timbangan sampai tepat 15 gram.

“Yup! sudah 15 gram, cukup!”

kataku dalam hati sembari menutup toples itu kembali. Kemudian aku memasukkan biji yang sudah kutakar dengan timbangan ke dalam mesin penggiling. Aku setel agar tidak terlalu kasar tetapi tidak terlalu halus.

Karena jika hasil gilingan terlalu kasar, maka rasa yang dikeluarkan semakin sedikit. Begitu juga sebaliknya, jika terlalu halus, maka rasa yang dikeluarkan akan semakin kaya. Namun, bukan hanya itu, suhu air yang digunakan juga menentukan karakter rasa.

Semakin panas air, maka semakin terekstraksi pula partikel-partikel biji kopi tersebut sehingga menghasilkan rasa yang amat kuat. Begitu juga sebaliknya, jika tidak terlalu panas, maka rasa yang dihasilkan tidak sekuat jika menggunakan suhu air yang lebih panas.

“Ting…!!!”

Suara mesin giling memecah lamunanku. Ya, biji kopi itu telah selesai digiling. Segera kupindahkan bubuk kopi itu ke dalam portafilter. Lalu kugoyang-goyangkankan sedikit untuk meratakannya dan kupadatkan dengan menggunakan tamper.

Setelah bubuk kopi itu merata, kupasangkan kembali portafilter pada mesin kopi. Kuketuk beberapa tombol pada mesin untuk mengatur suhu air. Kusetel air pada suhu 95 derajat celsius. Terakhir, kuketuk tombol pamungkas, tombol untuk memulai proses pembuatan espreso.

Beberapa menit kemudian secara perlahan mesin kopi mengeluarkan tetes-tetes ekstrak minyak kopi yang disebut krema. Menyusul kemudian perlahan endapan espreso mulai terlihat pada dasar seloki. Sedikit demi sedikit buih krema yang kecokelatan mulai meninggi, menyentuh bibir seloki.

Lalu sembari menunggu tetesan terakhir menetes. Kuambil air panas sebanyak satu cangkir kurang yang telah kusiapkan sedari aku menunggu tadi dan satu gelas mug kosong dari rak dinding di depanku. Kemudian kuletakkan di atas meja.

Dan akhirnya seloki telah penuh dan mesin telah berhenti memuntahkan cairan hitam. Kuambil seloki itu lalu kutuangkan kedalam gelas mug kosong hingga tetes terakhir. Setelah itu air panas tadi perlahan kucampurkan dengan espreso sedikit demi sedikit.

Sebelum aku tau cara membuat amerikano, aku bertanya-tanya.


“Mengapa espresonya dituang lebih dulu?”
“Mengapa tidak espresonya saja yang langsung dituangkan ke dalam air panas?”


Dan setelah aku berselancar kesana kemari di internet. Akhirnya aku tau.

Jika pada proses pembuatannya air dituang lebih dulu atau langsung menuangkan espreso ke dalam air, maka kopi tersebut dinamakan Long Black. Sebagai penanda, biasanya pada kopi long black masih menyisakan lapisan krema pada bagian atasnya karena espreso baru ditambahkan di akhir.

Ya, secangkir amerikano telah siap untuk kunikmati. Kubawa mug itu menuju meja tempat aku duduk tadi. Sebelum kucicipi, sejenak kunikmati aroma kopi yang terkesan pahit tetapi menyegarkan. Tak sadar ternyata seisi ruangan menjadi beraroma kopi. Namun, aroma ini tidak mengganggu.

Tidak seperti aroma mie instan kemasan portable yang aromanya sangat enak tetapi membuat lambung bergejolak, membuat lapar datang tanpa diundang. Ini berbeda, ini aroma kedamaian. Aroma sebuah ramuan yang terbuat dari kacang ajaib bernama kopi.

Aku seruput sedikit demi sedikit kopiku sembari memandang keluar jendela. Melihat seisi kota yang masih sibuk. Beruntungnya aku, sudah mencium wangi dari lambaian selendang bidadari lalu ditambah lagi dengan wangi aroma secangkir amerikano.


Dan sekali lagi, Thank God It’s Friday

***

Sekian

(fiksi)

Categories
Micro Story

Kabut Pukul Tiga Pagi

Suara deburan air sungai yang menghantam bebatuan memecah keheningan kala pagi masih buta. Di saat kebanyakan manusia masih setia memenuhi panggilan dewa-dewi mimpi. Sedangkan aku, aku sudah bersiap untuk lari mengejar sesuatu yang tidak ada ujungnya, yang tidak ada garis akhirnya. Ya, apalagi kalau bukan mengejar dunia!

Dengan gerak terburu-buru aku mengabil selembar roti dari atas meja makan. Kubalurkan selai rasa anggur kesukaanku kemudaian melipatnya menjadi dua lapis. Kusumpalkan roti itu ke dalam mulut sembari memakai kaus kaki warna putihku dengan bordiran pola warna hitam pada pinggirannya.

Sedikit berlari kubuka pintu lalu menguncinya kembali dari luar. Kuambil sepatu dari rak nomor tiga. Karena di rak nomor satu dan dua sudah terisi berbagai macam perkakas untuk membetulkan sepeda. Sepeda yang kugunakan sehari-hari untuk berpacu mengejar takdir memburu nasib baik.

Kukencangkan ikatan sepatuku dan segera kuambil sepedaku yang kuikat pada pohon apel tua di samping rumah. Kupacu sepedaku dengan kencang menuju stasiun kereta, karena pukul 5 tepat aku harus sudah di atas peron. Berdiri menunggu kereta yang akan datang 5 menit setelahnya.

Setibanya aku di stasiun, langit mulai membiru, cakrawala mulai menguning, kabut mulai mengawan, matahari mulai mengintip. Kulihat arlojiku telah menunjukkan pukul 5 tepat. Segera aku berlari menuju peron. Suara rel yang beradu samar-samar kudengar, tanda kereta itu sudah dekat.

Benar saja, tepat 5 menit setelahnya, kereta itu pun tiba. Para pengejar dunia mulai berdiri memadati. Mendekati batas kuning pada bibir peron. Begitu kereta berhenti dan membuka pintu, kita semua bergagas merangsek masuk dan berdesak-desakkan.

Terlihat kacau, tapi memang itulah kenyataan yang terjadi. Tak bisa dielakkan, tak terhindarkan. Persaingan para manusia sudah dimulai sejak dari sini, dari awal perjalanan.

Sesaat setelah memasuki gerbong, mataku bekerja layaknya mata elang yang sedang memburu tikus. Bedanya, aku memburu kursi yang tak bertuan. Karena berdiri selama 2 jam itu merupakan awal yang buruk untuk menghadapi kejamnya dunia. Bagaimana tidak buruk, aku saja tadi sudah cukup lelah mengayuh sepeda dan ini masih harus berdiri selama 2 jam. Oh tidak, aku tidak mau!

Ya, itu bukan salah ketik, waktu dari jarak yang harus aku tempuh itu benar-benar 2 jam perjalanan.

Egois? Betul! Tapi aku tak peduli. Aku yakin mereka juga demikian. Manusia selalu mementingkan dirinya masing-masing. Sifat dasar manusia sebagai spesies pun keluar. Mementingkan dirinya sendiri untuk kelangsungan genetiknya, kelangsungan hidupnya.

Akhirnya, setelah berdesak-desakan aku berhasil menemukan kursi kosong didekat pintu keluar di sebelah kiri. Bergegas aku kesana lalu duduk disamping seorang pria berbadan agak besar dengan setelan rapi ala pekerja kantoran. Tak lama kemudian pintu kereta tertutup lalu kembali berpacu diatas rel.

Agak sesak kurasakan duduk di sebelah pria ini, badannya yang besar membuatku sedikit terhimpit. Lalu kulihat ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah ransum, makanan bekal yang ia bawa dari rumahnya mungkin.

Waktu ia membuka bekal itu, aromanya dengan sadis menusuk saraf hidungku. Membuat lambungku yang dijejalkan selembar roti selai anggur menjadi cemburu.

Aku hapal betul aromanya. Itu makanan kesukaanku, dahulu sering dibuatkan ibuku, itu ayam semur. Walau hanya hidung yang mendapat jatah dan lidah hanya diselimuti liur, aku sudah bisa melukiskan rasanya dalam imaji.

Ah kejam! Masih pagi sudah dibuat ingat dengan kenangan masa kecil.

Untuk menahan rasa cemburu lambungku, aku mencoba memejamkan mata dan merenung. Kupikir-pikir dunia ini ada-ada saja. Untuk menggapainya bisa semudah itu dan juga bisa sesulit itu. Tergantung bagaimana takdir yang tertulis.

Tetapi demi bertahan hidup, walau harus mengejar dunia yang tak berujung, tak memiliki garis akhir, aku harus berjuang, aku harus kuat, aku harus hebat!

Berjuang merubah keadaan hidup, mencoba menuliskan takdir baru, memburu nasib baik. Namun, tak ada jaminan semua akan berakhir manis, tak ada kepastian selama itu masih tentang mengejar dunia.

Semuanya itu samar, seperti kabut pukul tiga pagi!

Categories
Micro Story

Sebanyak Tetesan Rintik Hujan, Tak Terhitung

Pagi itu pukul tujuh di hari minggu tahun 2020, Tuhan mengirimkan rahmatnya berupa tetes-tetes air dari langit. Rintiknya perlahan-lahan terus menetes hingga deras. Suaranya yang riuh disertai guntur yang gemuruh membawaku yang sedang terduduk di serambi rumah dengan ditemani secangkir teh hangat akhirnya melamun, meresap jauh ke dalam sukma. Namun, tiba-tiba riuh gemuruh itu dibuyarkan oleh getar ponsel yang kemudian layarnya benderang, kulihat ada namamu disana.

Segera aku sambut ponsel itu dari meja kayu di sebelahku yang sedari tadi hanya diam mematung menaham panasnya gelas teh. Kubuka kunci layar ponsel dan yang kulihat adalah rantaian pesan darimu, begitu banyaknya laksana kue lapis. Iya, bertumpuk-tumpuk.

Aku pun membacanya satu demi satu, kata demi kata. Tidak terasa, riang perasaan saat membacanya mengakibatkan sebuah senyuman terlukis di bibirku.

Bagaimana tidak riang gembira. Kata-katamu yang amat manis mampu menghilangkan segala kepahitan. Aku takut jika sampai lautan tahu kata-katamu itu, mungkin laut tidak sudi lagi menerima garam dan akan menjadi manis karenanya.

Sebenarnya aku gembira bukan cuma semata-mata karena kata-katamu. Melihat pesanmu saja merupakan hal yang sangat aku syukuri. Walau hanya segaris tawa atau sebuah ikon emoji, bagiku layaknya miliaran bintang menghiasi ruang jiwa. Bukan aku berlebihan, hal itu menandakan bahwa dirimu masih hidup, masih ada diantara ruang dan waktu yang sama denganku.

Mungkin dirimu tidak mengetahuinya atau bahkan mungkin tidak memahaminya. Aku di sini menunggu pesanmu dengan rasa cemas tetapi diselimuti hangatnya harapan. Segala kemungkinan berkecamuk di alam pikiran

Namun, kecemasan itu mampu kukalahkan dengan keyakinan yang sudah tumbuh besar lalu mengakar kuat mencengkram setiap sudut jiwa. Yang mana walaupun ia tumbang akan menyisakan akar didalamnya yang masih mencengkram kuat dan siap untuk tumbuh kembali.

Dengan senyum yang masih setia di bibirku. Perlahan jemariku mulai menari-nari di atas kibor virtual pada layar ponsel. Bunyi ketukan di setiap hurufnya bagaikan irama musik yang menghipnotisnya untuk semakin bersemangat menari, bergerak kesana kemari merangkai kata-kata.

Setelah kubaca ulang, dengan yakin aku kirim suatu hasil karya tarian sang jemari kepadamu. Melepasnya menembus ruang dan waktu, mempercayakan gelombang radio membawanya secepat cahaya. Melintasi batas kemampuan manusia. Lalu kemudian kembali melanjutkan siklus menunggu.

Siklus menunggu yang kujalani dengan memandang hujan sembari menikmati suaranya. Membuat anganku terbang melayang, menjaga setiap pesanku menuju langit agar tak dicuri malaikat yang mungkin akan cemburu apabila membacanya.

Hujan kali ini terasa sangat membahagiakan. Ia bukan datang untuk melembabkan luka lama untuk membusuk. Namun, ia datang untuk menumbuhkan benih harapan. Ia membawa dirimu kepadaku untuk memulai kisah perjalanan yang baru.

Aku percaya, bahwa ketika hujan adalah waktu yang baik untuk berdo’a. Oleh karenanya, pintaku pada Tuhan agar kita tak pernah berakhir hingga takdir berkata cukup. Selalu akan banyak bahagianya, hari demi hari, tahun demi tahun, dan seterusnya selalu banyak bahagianya.

Sebanyak tetesan rintik hujan, tak terhitung.

***

Sekian

error: Content is protected !!