Categories
Micro Story

Thank God It’s Friday

Aku memasuki ruang kerja yang berada di seberang lift itu, lalu aku duduk di sudut agak jauh dengan jendela kaca, tetapi darinya masih dapat kulihat luas hiruk-pikuk kota. Ya, sehari-hari aku menghabiskan waktu di lantai 25. Di sebuah gedung di tengah Ibu Kota, tempatku bekerja.

Hari ini hari jum’at, jadwalku tidak terlalu padat. Hanya beberapa to do list rutin yang harus dituntaskan. Mungkin dari situasi seperti inilah bagaimana istilah ‘TGIF’ –Thank God It’s Friday– mulai ramai digunakan.

Ya, situasi dimana rayuan akhir pekan bagaikan lambaian selendang bidadari. Wanginya sudah tercium bahkan sebelum ia tiba sekalipun. Entah semua menciumnya atau tidak, tapi begitulah imajinasiku menggambarkan aroma dari hari jumat.

Pukul 10 pagi aku mulai senggang, kuputuskan untuk membuat secangkir amerikano. Itu salah satu jenis penyajian kopi yang proses pembuatannya dengan mencampurkan satu atau dua seloki espreso dengan air panas.

Aku menuju meja ‘coffee spot‘ tepat diseberang meja yang aku duduki saat ini. Di meja itu sudah dilengkapi dengan berbagai macam perlengkapan untuk membuat kopi. Mulai dari biji kopi yang beragam sampai dengan mesin kopinya, semua tersedia. Sudah seperti meja kerja seorang barista.

Tanpa pikir panjang, kuambil toples biji kopi arabika. Konon katanya, untuk espreso jenis biji kopi ini memiliki karakter yang kuat dengan rasa yang kaya. Kubuka tutup toples itu dan menyerok isinya, lalu perlahan aku takar dan menaruhnya pada timbangan sampai tepat 15 gram.

“Yup! sudah 15 gram, cukup!”

kataku dalam hati sembari menutup toples itu kembali. Kemudian aku memasukkan biji yang sudah kutakar dengan timbangan ke dalam mesin penggiling. Aku setel agar tidak terlalu kasar tetapi tidak terlalu halus.

Karena jika hasil gilingan terlalu kasar, maka rasa yang dikeluarkan semakin sedikit. Begitu juga sebaliknya, jika terlalu halus, maka rasa yang dikeluarkan akan semakin kaya. Namun, bukan hanya itu, suhu air yang digunakan juga menentukan karakter rasa.

Semakin panas air, maka semakin terekstraksi pula partikel-partikel biji kopi tersebut sehingga menghasilkan rasa yang amat kuat. Begitu juga sebaliknya, jika tidak terlalu panas, maka rasa yang dihasilkan tidak sekuat jika menggunakan suhu air yang lebih panas.

“Ting…!!!”

Suara mesin giling memecah lamunanku. Ya, biji kopi itu telah selesai digiling. Segera kupindahkan bubuk kopi itu ke dalam portafilter. Lalu kugoyang-goyangkankan sedikit untuk meratakannya dan kupadatkan dengan menggunakan tamper.

Setelah bubuk kopi itu merata, kupasangkan kembali portafilter pada mesin kopi. Kuketuk beberapa tombol pada mesin untuk mengatur suhu air. Kusetel air pada suhu 95 derajat celsius. Terakhir, kuketuk tombol pamungkas, tombol untuk memulai proses pembuatan espreso.

Beberapa menit kemudian secara perlahan mesin kopi mengeluarkan tetes-tetes ekstrak minyak kopi yang disebut krema. Menyusul kemudian perlahan endapan espreso mulai terlihat pada dasar seloki. Sedikit demi sedikit buih krema yang kecokelatan mulai meninggi, menyentuh bibir seloki.

Lalu sembari menunggu tetesan terakhir menetes. Kuambil air panas sebanyak satu cangkir kurang yang telah kusiapkan sedari aku menunggu tadi dan satu gelas mug kosong dari rak dinding di depanku. Kemudian kuletakkan di atas meja.

Dan akhirnya seloki telah penuh dan mesin telah berhenti memuntahkan cairan hitam. Kuambil seloki itu lalu kutuangkan kedalam gelas mug kosong hingga tetes terakhir. Setelah itu air panas tadi perlahan kucampurkan dengan espreso sedikit demi sedikit.

Sebelum aku tau cara membuat amerikano, aku bertanya-tanya.


“Mengapa espresonya dituang lebih dulu?”
“Mengapa tidak espresonya saja yang langsung dituangkan ke dalam air panas?”


Dan setelah aku berselancar kesana kemari di internet. Akhirnya aku tau.

Jika pada proses pembuatannya air dituang lebih dulu atau langsung menuangkan espreso ke dalam air, maka kopi tersebut dinamakan Long Black. Sebagai penanda, biasanya pada kopi long black masih menyisakan lapisan krema pada bagian atasnya karena espreso baru ditambahkan di akhir.

Ya, secangkir amerikano telah siap untuk kunikmati. Kubawa mug itu menuju meja tempat aku duduk tadi. Sebelum kucicipi, sejenak kunikmati aroma kopi yang terkesan pahit tetapi menyegarkan. Tak sadar ternyata seisi ruangan menjadi beraroma kopi. Namun, aroma ini tidak mengganggu.

Tidak seperti aroma mie instan kemasan portable yang aromanya sangat enak tetapi membuat lambung bergejolak, membuat lapar datang tanpa diundang. Ini berbeda, ini aroma kedamaian. Aroma sebuah ramuan yang terbuat dari kacang ajaib bernama kopi.

Aku seruput sedikit demi sedikit kopiku sembari memandang keluar jendela. Melihat seisi kota yang masih sibuk. Beruntungnya aku, sudah mencium wangi dari lambaian selendang bidadari lalu ditambah lagi dengan wangi aroma secangkir amerikano.


Dan sekali lagi, Thank God It’s Friday

***

Sekian

(fiksi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!